MEMBANGUN KESADARAN KRITIS
Gili Argenti, S.IP, M.Si
Penulis
Gili Argenti, Bidang Hikmah Dan Hubungan Antar Lembaga Pemuda Muhammadiyah Karawang, Dosen FISIP Universitas Singaperbangsa Karawang (UNSIKA), Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik Universitas Padjadjaran (UNPAD).
Beberapa minggu lalu penulis di undang oleh salah satu pergerakan mahasiswa Islam di kota Karawang, Jawa Barat yaitu Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) untuk mengisi materi tentang analisis sosial di acara Pelatihan Kader Darul Arqom Dasar (DAD), tulisan ini merupakan materi yang penulis sampaikan pada kegiatan tersebut.
Analisis sosial didefinisikan suatu cara seseorang dalam memperoleh gambaran secara komprehensif tentang situasi sosial terjadi di tengah-tengah masyarakat, berupa interaksi kekuasaan, kebudayaan, dan kesejarahan (Kristeva, 2022).
Ketika melakukan analisis sosial pada hakikatnya kita sedang melakukan kerja-kerja kemanusiaan, mengungkap atau membongkar secara objektif sebuah peristiwa atau realitas sosial terjadi, berdasarkan berbagai data kita dapatkan, baik secara langsung ketika turun ke lapangan atau melalui penelusuran berbagai literatur. Tentunya tugas kita sebagai generasi muda tidak berhenti sekedar menjelaskan peristiwa tersebut, atau hanya memberikan narasi argumentasi bersifat solutif, tetapi harus melibatkan diri dalam aksi-aksi sosial emansipatoris melakukan pemberdayaan serta pembelaan pada kelompok tertindas (mustadh'afin).
Kelompok muda progresif harus berperan mewakili kekuatan civil society terlibat secara langsung dalam mendorong perubahan sosial itu ke arah lebih baik. Struktur sosial timpang penuh nuansa eksploitasi, ketidakadilan, dan penindasan. Harus bisa kita rubah menjadi orde sosial penuh keadilan, kesetaraan, dan cinta kasih.
Sebelum seseorang melakukan analisa sosial, kemudian terlibat dalam pergerakan sosial, sikap pertama harus dimiliki, yaitu mempunyai kesadaran kritis bersifat transformatif.
Kesadaran kritis menyakini terdapat muatan kepentingan politik dalam semua aktifitas sosial, bahwa praksis sosial tidak bisa dipisahkan dari konteks ekonomi, kultural, dan politik. Tujuan dari kesadaran kritis memberdayakan kaum tertindas, dengan mentransformasi ketidakadilan sosial menjadi sistem egaliter. Kesadaran kritis itu memiliki karakteristik sangat khas, keberpihakan sangat jelas serta tegas kepada mereka yang termarjinalkan dalam sistem sosial (Nuryatno, 2011).
Kesadaran kritis yang muncul dikalangan kaum muda pergerakan saat ini, seperti oase ditengah gurun pasir kering, tandus, gersang, dan panas. Ia seakan-akan menjadi barang sangat langka, ketika anak muda dimanjakan banyak pilihan “menikmati” kehidupan serba gemerlap, mewah, dan megah. Tentu membentuk serta membangun kesadaran kritis tidak semudah membalikan telapak tangah, memerlukan kepekaan sosial dan kecerdasan emosi, merasakan penderitaan kelompok sosial selama ini termarjinalkan kekuasaan despotik.
Kesadaran sosial sendiri menurut Paulo Freire dalam bukunya We Making The Road By Walking (1990) membagi kesadaran manusia ke dalam tiga bentuk kesadaran, yaitu (1) kesadaran magis, (2) kesadaran naif, dan (3) kesadaran kritis.
Kesadaran magis bentuk kesadaran tidak mampu mengaitkan hubungan sebab-akibat antara satu faktor dengan faktor lain, atau menerima narasi kebenaran secara doktriner dan dogmatis, artinya ketika memahami absolutisme kebenaran dari fenomena sosial, dipahami bersifat final serta mengikat. Kesadaran magis biasanya bersifat tanpa disertai analisis bersifat kritis. Misalnya kasus tanah longsor di sebuah daerah, dimaknai ketentuan adikodrati harus diterima secara fantalistis oleh masyarakat.
Kesadaran naif manifestasi dari kesadaran memandang faktor manusia sebagai akar penyebab dari segala permasalahan hadir di tengah-tengah masyarakat, sama sekali tidak mempertanyakan atau menggugat munculnya ketimpangan sosial disebabkan struktur sosial timpang. Misalnya memandang faktor kemiskinan disebabkan manusia tidak memiliki semangat Need For Achievement, atau semangat untuk berkompetisi sangat rendah. Kesadaran naif tidak melihat setiap peristiwa sosial secara kritis, padahal salah satu faktor fenomena kemiskinan disebabkan penghisapan sistem kapitalisme, atau kekeliruan dari kebijakan pemerintah pada rakyatnya.
Kesadaran kritis permasalahan sosial dilihat dari relasi struktur kekuasaan timpang, penuh penindasan dan ketidakadilan, menghubungkan satu faktor pada faktor lain, atau sebab-akibat. Misalnya memaknai musibah tanah longsor disebabkan penggundulan atau penebangan hutan tidak bertanggungjawab, akibatnya ketika hujan turun tidak terdapat akar pepohonan untuk penahan air, berdampak bencana banjir serta tanah longsor di beberapa daerah tertentu.
Dari ketiga kesadaran sosial itu, kelompok muda pergerakan sudah menjadi keniscayaan memiliki kesadaran kritis dalam memandang setiap persoalan sosial terjadi, mereka harus mampu melakukan pembacaan atau analisis sosial secara cermat dan tepat.
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), salah satu gerakan mahasiswa Islam harus memiliki tanggungjawab besar, menjadi aktor perubahan sosial ditengah-tengah masyarakat. Maka menjadi keniscayaan IMM menjadikan Islam (berkemajuan) sebagai ruh dari gerakannya. Artinya kesadaran kritis yang dibangun dari fondasi keislaman, risalah Tauhid menjadi pisau analisis melakukan pembacaan sosial kemasyarakatan. Tafsir pemihakan kepada kelompok termarjinalkan harus menjadi tradisi beraktifitas dalam dunia pergerakan.
Terlebih di dalam kitab suci Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW menarasikan pentingnya pembelaan kepada orang-orang miskin yang terpinggirkan, salah satu contohnya kewajiban orang kaya membayarkan upah kepada buruhnya sebelum keringatnya keluar, penafsiran kontekstualnya perusahaan harus membayar upah kepada pekerja seadil-adilnya dengan tujuan utama mensejahterakan kehidupan ekonomi keluarga mereka. Tentu masih banyak narasi dalam Al-Qur’an dan Hadis dapat kita gunakan sebagai alat analisis membedah berbagai persoalan dalam kehidupan sosial. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) memiliki tanggungjawab besar, melakukan analisis sosial kritis pada permasalahan sosial terjadi.
Selain menumbuhkan kesadaran kritis, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), harus memiliki paradigma intelektual organik, sosok intelegensia muslim bersedia melakukan peran perubahan sosial, melakukan pemihakan pada kaum termarjinalkan, membangun narasi perlawanan atas dominasi wacana dari struktur kekuasaan, serta bersedia turun ke lapangan melakukan aksi-aksi nyata bentuk manifestasi dari keimanan.
Sebagai penulis saya sepenuhnya menyakini Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kabupaten Karawang mampu mengemban amanah itu sebagai kekuatan kritis religius sekaligus intelektual organik. Semoga.
Post a Comment